Rabu, 18 Desember 2013

Kualitas Kayu Jati Sebagai Baku Kayu Pertukangan



Kayu jati merupakan salah satu jenis kayu tropis yang dikenal memiliki kualitas sangat baik. Kayu jati berasal dari pohon jati yang memiliki masa pertumbuhan sangat lama. Itu sebabnya persediaan kayu ini dipasaran tergolong sedikit dan harga untuk jenis kayu ini tergolong mahal.
Mungkin ada sebagian dari pembaca blog ini tidak sependapat dengan opini di atas yang menyebutkan kalau persediaan kayu jati dipasaran tergolong sedikit, sebab pada kenyataannya, banyak sekali industri permebelan yang menggunakan kayu jati sebagai bahan baku dalam memproduksi berbagai macam produk olahan kayu. Hal tersebut memang benar adanya, yang dimaksud sedikit adalah untuk kayu jati yang benar-benar berkualitas baik yang ditunjukkan pada tuanya umur kayu tersebut. Sedangkan kebanyakan kayu jati yang ada dan digunakan oleh industri-industri permebelan sekarang ini jarang ada yang berumur tua, atau dengan kata lain kayu yang digunakan tergolong relatif muda. Mungkin kayu tersebut diambil dari dari pohon yang berumur kurang dari 20 tahun.
Untuk industri permebelan yang menggunakan kayu jati tua sebagai bahan baku dalam proses produksinya, tentu harganya akan lebih mahal. Tetapi kayu jati tua memiliki banyak kelebihan daripada menggunakan kayu jati muda. Mau tahu kelebihannya apa? Secara umum kelebihan kayu jati tua terletak pada tingkat keawetan dan tingkat keindahan yang ditonjolkan oleh kayu tersebut.
Tingkat keawetan: Kayu jati tua memiliki tingkat keawetan sangat bagus meskipun tanpa diberi bahan-bahan pegawet kayu. Mungkin bahkan keawetan kayu ini bisa untuk generasi sesudah anda. Contohnya seperti yang kita lihat sekarang ini. Banyakkan sisa-sisa situs peninggalan penjajah terutama yang terbuat dari kayu jati yang masih utuh sampai sekarang. Loh kok bisa? Apa yang menyebabkan kayu tersebut sangat awet? Keawetan kayu jati terutama kayu jati tua disebabkan oleh kepadatan pori-pori dan serat pada kayu tersebut. Kayu jati tua memiliki serat dan pori-pori sangat padat sehingga kayu tersebut menjadi keras dan tidak mudah diserang rayap meskipun diletakkan pada tempat yang bersentuhan langsung dengan tanah. Apa hanya itu? Secara kasat mata memang seperti itu, tetapi saya pernah sekilas membaca referensi yang menyebutkan bahwa kayu jati memiliki semacam minyak yang secara ilmiah mampu menjadikan kayu ini awet. Tapi sayang sekali saya lupa referensi apa itu.
Tingkat keindahan: Kayu jati tua merupakan jenis kayu yang sangat indah bahkan ada yang menyebutnya memiliki kualitas nomor 1. Hal tersebut tidaklah berlebihan, sebab kayu jati memang memiliki tekstur, arah serat dan warna sangat bagus. Anda bisa membuktikannya sendiri.
Apakah kayu jati termasuk jenis kayu pertukangan ? Pada dasarnya, kayu jati merupakan jenis kayu pertukangan dan fleksibel. Kayu ini bisa dengan mudah dikerjakan seperti dipotong, diserut dan diamplas sehingga banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk kayu bangunan, mebel, veener dan flooring, bahkan kayu jati yang lurus dengan panjang lebih dari 8 meter bisa dipakai untuk membuat perahu. Dan produk-produk yang menggunakan kayu jati sebagai bahan baku dalam proses pembuatannya pasti memiliki kualitas bagus.





Selasa, 17 Desember 2013

All Wood For Special Furniture Made

       
Product Details Teak Wood For Your Furniture





       The role of wood will never be replaced, although it has now emerged that products made ​​from alumunimun and iron, but still the use of wood has its own art, especially in art and architecture of a house. Wood types also vary some unusual or exceptional, for the category of wood incredible typically grouped into solid wood.
Solid wood consists of various types, In the manufacture of solid wood furniture is often used as raw materials such as teak, sungkai, mahogany, camphor, nyatoh, rosewood, coconut wood and other.
       Teak wood in great demand, because of the strength, durability, beauty, and have good quality. This wood is very resistant to termite attack. Although hard and strong, teak wood is easy to cut and processed, it makes teak wood liked by everybody, especially for make ​​carvings and furniture.









Mengenal Jenis Kayu Yang Sering Menjadi Bahan Baku Furniture

6 Jenis Kayu yang Sering Digunakan untuk Membuat Furniture




Pada dasarnya, semua jenis kayu bisa digunakan sebagai bahan baku untuk membuat furniture, asalkan kayu tersebut memiliki tingkat kekerasan ( bukan tingkat kegetasan ) yang baik. Mengapa? Sebab, kayu yang memiliki tingkat kekerasan yang baik, dapat dengan mudah diproses seperti dipotong, diukir, diamplas dll. Jadi, intinya, apapun jenis kayunya asalkan memiliki tingkat kekerasan yang cukup bisa digunakan untuk membuat furniture ataupun perabotan lainnya yang terbuat dari kayu.
Tetapi, dari semua jenis kayu keras yang ada saat ini, sedikitnya hanya ada 6 jenis saja kayu yang sering atau biasa dipakai oleh masyarakat sebagai bahan baku untuk membuat beraneka macam produk furniture seperti meja, kursi, lemari, pintu dll. Keenam jenis kayu tersebut banyak dipilih atau digunakan bukan hanya karena mudah diproses tapi juga karena pertimbangan sisi kualitas kayu serta furniture yang dihasilkan nantinya. Dankeenam jenis kayu yang sering digunakan untuk membuat furnituretersebut antara lain:
  • Kayu Jati
Sudah bukan rahasia lagi jika kayu ini merupakan jenis kayu yang selalu menjadi primadona dalam dunia furniture. Sebab, bila dilihat dari sisi peminatnya, peminat furniture kayu jati tergolong sangat banyak, tidak hanya di Indonesia tapi bahkan hingga level Internasional. Selain dikenal kuat dan awet, furniture yang terbuat dari kayu jati juga terkesan mewah dan elegan. Penyebabnya adalah karena kayu jati memiliki serat dan tekstur kayu yang sarat nilai dekoratif. Jadi, selain kuat dan awet, furniture dari kayu jati juga mampu menampilkan kesan elegan dan mewah.


  • Kayu Mahoni
Jenis kayu yang banyak digunakan untuk membuat furniture berikutnya adalah kayu mahoni. Kayu ini banyak dipilih karena selain kualitasnya cukup baik, harganya juga jauh lebih murah jika dibanding harga kayu jati. Jadi, selain mampu menjaga kualitas furniture yang dibuat, dengan menggunakan kayu mahoni, para pengrajin furniture juga bisa lebih menghemat biaya produksi.





  • Kayu Sonokeling
Kayu sonokeling banyak digunakan oleh masyarakat karena kayu ini memiliki keunikan tersendiri. Kayu sonokeling ini memiliki warna gelap yang alami ( tanpa diberi pewarnaan). Selain itu, furniture yang dibuat menggunakan kayu sonokeling juga dikenal awet dan elegan. Sebab, sama halnya dengan kayu jati, kayu sonokeling ini juga memiliki serat dan tekstur kayu yang indah atau dekoratif.


  • Kayu Akasia
Secara kasat mata, kayu akasia ini memiliki warna dan serat kayu yang hampir mirip dengan kayu jati. Dan itulah salah satu alasannya kayu ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk membuat furniture. Selain itu, meskipun kayu akasia memiliki bobot cukup berat tapi kayu ini juga dikenal cukup awet dan kuat.



  • Kayu Trembesi
Dewasa ini, permintaan furniture kayu trembesi bisa dibilang cukup tinggi, permintaan tersebut tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga banyak yang berasal dari luar negeri. Kayu trembesi banyak dipilih oleh masyarakat untuk membuat furniture karena selain stoknya di alam masih banyak, ukuran kayu ini umumnya besar-besar. Itu sebabnya, sebagian besar desain atau model pada furniture kayu trembesi lebih menonjolkan ketebalan kayu.


  • Kayu Kamper
Bicara kayu kamper tentu tidak bisa lepas dari kusen dan pintu. Kok bisa? sebab kayu kamper lebih dikenal sebagai bahan baku untuk membuat kusen dan pintu dari pada untuk membuat perabotan kayu.

Minggu, 15 Desember 2013

Kayu Jati Dalam Balutan Sejarah Berdirinya Kerajaan Tanah Jawa




Kayu Jati Dalam Balutan Sejarah Berdirinya Kerajaan Tanah Jawa




Sejarah Kasunanan Surakarta Tahun 1745-1945, Pembentukan Daerah Istimewa Surakarta Tanggal 1 September 1945 dan Berakirnya DIS Akibat Gerakan Anti Monarki Oleh Tan Malaka Oktober 1945
Kesultanan Mataram yg runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yg mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742. Kerajaan Mataram yg berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV penguasa Madura barat yg merupaken sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah.
Pakubuwana II yg menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yg baru. Bangunan Keraton Kartasura yg sudah hancur & dianggap “tercemar”. Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso [bernama kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung Arungbinang I], bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J. A. B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yg baru.
Untuk itu dibangunlah keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa Sala di tepi Bengawan Solo. Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda” bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di dekat Wonogiri & kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 [atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya]. Berlakunya Perjanjian Giyanti [13 Februari 1755] menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton & kota Yogyakarta mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yg sama dengan Surakarta yg lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan, dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran Sambernyawa [Mangkunagara I].
Pembetukan Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat ialah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yg berdiri tahun 1755 sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC dengan pihak-pihak yg bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana III & Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dlm dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta & Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.
Setiap raja Kasunanan Surakarta yg bergelar Sunan [demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yg bergelar Sultan] selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau Pemerintah Hindia Belanda.
Kejayaan Kesunanan Surakarta
Kerajaan Mataram yg berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada pemberontakan yg besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746 yg meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yg diwakili oleh Baron von Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yg dianggap berhak melantik raja-raja keturunan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yg sudah mengalami kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu melawan pemberontakan Raden Mas Said yg tak mau berdamai. Semula Pangeran Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yg ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, & Mangkubumi, melahirkan dua kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat & Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram mengambil gelar Sultan Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yg dipimpin oleh Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta, sedang negeri Mataram yg dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang, karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus kadipaten, yg disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.
Wilayah Surakarta berkurang lebih jauh lagi sesudah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas biaya peperangan.
Berbeda dengan Pakubuwana III yg agak patuh kepada VOC, penerus tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV [1788-1820] ialah sosok raja yg membenci penjajah & penuh cita-cita serta keberanian. Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, & Mangkunegara I. Pengepungan ini terjadi karena Pakubuwana IV yg berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yg tak sepaham dengannya. Para pejabat istana yg disingkirkan kemudian meminta VOC untuk menghadapi Pakubuwono IV. VOC yg memang khawatir atas aktivitas kejawen Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I & Mangkunegara I untuk mengepung istana.

Di dlm istana, para pejabat yg sebenarnya tak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan dengan maksud agar para penasehat rohani kerajaan yg beraliran kejawen bisa disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk & menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yg isinya menerangkan bahwa Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan & kedaulatan yg setara sehingga tak boleh saling menyerang. Pengganti Pakubuwana IV ialah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yg oleh masyarakat saat itu dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yg sangat kaya, baik kaya harta maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V ialah Sri Susuhunan Pakubuwana VI.
Pakubuwana VI ialah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yg memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta & pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam. Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan & dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda.
Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dlm pasukan sandiwara tersebut. Setelah menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI & membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, & kini ia hidup nyaman di Batavia. Fitnah yg dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.

Pakubuwana IX sendiri masih berada dlm kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VII. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Keadaan yg damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Pemerintahannya berakhir saat wafatannya & karena tak memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya [lain ibu] bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yg naik tahta pada usia 69 tahun. Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun sampai akhir hayatnya. Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara [ayah Ranggawarsita yg menjabat sebagai juru tulis keraton] telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dlm penjara oleh Belanda. Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet.

Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi & suasana politik kerajaan yg stabil. Pada masa pemerintahannya yg cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di Hindia Belanda. Meskipun berada dlm tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi & penerbitan media massa. Ia mendukung pendirian organisasi Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta [1938] diadakan pada masa pemerintahannya. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun Solo-Kota [Sangkrah], Stadion Sriwedari, kebun binatang [”Taman Satwataru”] Jurug, Jembatan Jurug yg melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, & rumah perabuan [pembakaran jenazah] bagi warga Tionghoa. Beliau meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939.

Ia disebut sebagai Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yg terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana XI. Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo. Ia digantikan Sri Susuhunan Pakubuwana XII.
Status Kasunanan Surakarta Masa Kemerdekaan
Di awal masa kemerdekaan Republik Indonesia [1945-1946], Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan & agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dlm wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas & putri, GKR Pembajoen.
Baliho Piagam Maklumat Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor, Keraton Surakarta.
Penetapan status Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan raja-raja Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunagaran yg menyatakan wilayah mereka ialah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dlm rapat PPKI diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan propinsi & dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian pada tanggal 1 September 1945, Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunegaran mengirimkan maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII yg menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta Hadiningrat yg bersifat kerajaan ialah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII dengan diberikannya piagam kedudukan resmi sebagai Kepala Daerah Istimewa Surakarta yg setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah Pemerintah Pusat. Sebagaimana diketahui, barulah sekitar lima hari setelahnya, yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta & Kadipaten Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yg menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gerakan Anti Monarki Oleh Tan Malaka Oktober 1945
Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya ialah Tan Malaka, pimpinan Partai Murba. Tujuan gerakan ini ialah penghapusan DIS, serta pembubaran Mangkunegara & Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini ialah perampasan tanah-tanah pertanian yg dikuasai Mangkunegara & Susuhunan untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober 1945, Pepatih Dalem [perdana menteri] Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik & dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan Bupati-bupati yg umumnya kerabat raja & diganti orang-orang yg pro gerakan Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yg baru KRMT Yudonagoro juga diculik & dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yg sama.
Pemerintah RI membekukan status Daerah Istimewa Surakarta
Karena banyaknya kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah RI membekukan status DIS & menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan & Mangkunegaran & daerah Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan sebelum bentuk & susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan Surakarta & Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat & warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni & budaya Jawa.
Pemerintahan Pakubuwana XII
Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Belanda yg tak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta.
Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting & memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan, sampai muncul rumor bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupaken sekutu pemerintah Belanda, sehingga rakyat merasa marah & memberontak terhadap kekuasaan Kasunanan, padahal fitnah itu amat sangat tak benar & keliru. Karena seperti diketahui, para raja-raja Kasunanan terdahulu merupaken salah satu penentang pemerintah penjajah yg paling utama.
Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11 Juni 2004, & masa pemerintahannya merupaken yg terlama diantara para raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yg masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.

Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai sesudah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dlm sebuah rekonsiliasi resmi yg di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, & Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih [pepatih dalem] dengan gelar KGPHPA [Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung].


Berkenalan Dengan Jenis Kayu Furniture

Mengenal  J enis-jenis  Kayu Untuk  Furniture



       Dulu furniture dibuat dengan menggunakan kayu utuh tanpa sambungan agar lebih kokoh karena ketabalannya. Karena persediaan kayu yang terbatas kemudian orang membuat furniture dengan menggunakan kayu yang disambung-sambung. Sekarang kayu semakin langka sehingga limbah kayu pun dimanfaatkan dan diolah menjadi kayu lapis, MDF, HDF, particle board baru kemudian dibuat menjadi furniture.
       Sampai saat ini furniture kayu merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam rumah tangga. Dari kursi, meja, tempat tidur, tempat penyimpanan bahkan cabinet di dapur pun menggunakan furniture berbahan kayu. Untuk mendapatkan kualitas dan harga yang anda inginkan, ada baiknya anda mengenal jenis material kayu beserta kelebihan dan kekuranggannya sebelum memutuskan untuk membuat atau membeli furniture.

Kayu Solid

furniture-kayu-solid
       Kayu solid merupakan bahan terkuat dan paling tahan lama dibandingkan kayu olahan. Namun persediaannya terbatas sehingga harganya pun sangat mahal. Proses pengerjaannya pun membutuhkan keterampilan yang khusus. Pengeringan harus sempurna untuk mengindari sifat muai susut kayu. Kayu yang biasa dipakai di Indonesia untuk furniture adalah kayu jati, kayu  nyatoh, dan kayu sungkai dan beberapa jenis kayu lainnya seperti mahoni, pinus, ramin dan cedar.

Kayu jati merupakan kayu yang paling banyak diminati karena kualitasnya,
kayu-jati-copy
ketahanannya terhadap kondisi cuaca, tahan rayap, dan seratnya yang menarik. Kayu ini merupakan kayu kelas satu yang banyak diolah menjadi furniture berkelas. Jenis furniture ini pun sangat diminati oleh penduduk mancanegara sehingga permintaan eksport selalu meningkat dari tahun ke tahun.

       Warna kayu jadi adalah coklat muda, coklat kelabu hingga coklat tua kemerahan. Sekalipun keras dan kuat kayu ini mudah dipotong dan dibentuk. Agar keindahan serat dan urat kayu terlihat alami, finishing nya bisa menggunakan politur, melamik atau PU (polyurethane).
kayu-sungkai-copy
       Kayu sungkai kini semakin popular penggunaannya sebagai pengganti  kayu jati yang mahal. Seratnya lebih lunak dan warnanya pun lebih terang dari kayu jati. Kayu sungkai cocok untuk furniture dalam ruangan. Walaupun harganya lebih murah dari kayu jati tapi masih lebih mahal dari pada kayu nyatoh.

       Kayu nyatoh biasa disebut kayu jati muda yang banyak terdapat di propinsi Riau. Serat kayunya berwarna coklat muda dengan guratan yang khas. Kayu ini juga tahan terhadap serangan rayap dan tahan lama.

Kayu lapis ( plywood )

plywood-copy
       Kayu lapis merupakan kayu olahan yang biasa kita kenal dengan sebutan tripleks atau mutipleks. Kayu lapis dibentuk dari beberapa lembaran kayu yang direkatkan dengan tekanan tinggi. Ketabalanya bervariasi dari mulai 3 mm, 4 mm, 9 mm dan 18 mm dan luasannya 244 x 122 cm. Ketebalan plywood menentukan kekuatan dan kestabilannya.

       Jenis kayu ini paling banyak dipakai sebagai material pembuat kitchen set, lemari, meja, dan tempat tidur. Oleh karena plywood mempunyai permukaan polos dan tidak memiliki serat yang khas maka kadang perlu diberi pelapis tambahan seperti venner(irisan kayu tipis) PVC ataupun melaminto. Harga kayu lapis lebih murah dari kayu solid tapi lebih mahal dari kayu olahan lainnya.

Blockboard

blockboard-copy
       Blockboard merupakan potongan kayu kotak kecil-kecil ( sekitar 2.5 – 5 cm ) yang dipadatkan dengan mesin dan diberi pelapis venner di kedua sisinya sehingga menjadi sebuah lembaran menyerupai papan. Ketebalannya bisa 12 mm, 15 mm dan 18 mm dan luasannya sama dengan multipleks.

      Blockboard biasanya dibuat dari kayu lunak sehingga tidak sekuat plywood. Harganya pun sedikit dibawah plywood. Jenis block board yang banyak tersedia adalah teakblok (memakai lapisan venner kayu jati). Cukup baik untuk membuat rak, cabinet ataupun kitchen set.

Kayu MDF ( Medium Density Fibreboard )

mdf-copy
      MDF terbuat dari serbuk kayu halus dan bahan kimia resin yang direkatkan dan dipadatkan dengan suhu dan tekanan yang tinggi. Kayu yang dipakai biasanya diambil dari kayu sisa perkebunan ataupun bamboo. Ini membuat MDF lebih ramah lingkungan. Bentuknya berupa papan atau lembaran yan siap dipotong sesuai dengan kebutuhan. Versi yang lebih padat dan lebih kuat dikenal dengan HDF (High Density Fibreboard).

     MDF sangat fleksibel sehingga mudah dibentuk. Ukuran dan kekuatannyapun  konsisten.  Namun karena memakai bahan kimia resin, MDF lebih berat dari Plywood dan particle board. Di pasaran MDF memiliki jenis finishing yang sangat berfariasi dari cat kayu, venner, PVC, HPL ataupun paper laminate. Warna dan motifnya pun dapat dibuat sangat beragam
      Furniture yang memakai bahan MDF biasa dipakai untuk furniture praktis yang diproduksi masal oleh pabrik.Sistem knock down digunakan hampir di semua industry furniture dengan menggunakan dowel (batang kayu atau plastic kecil) atau connecting bolt yang membuat produk dapat dibongkar pasang dengan mudah.

Particel Board

      Particle board terbuat dari partikel sisa pekerjaan kayu seperti serbuk gergaji, potongan kayu kecil, serpihan kayu dan bahan kimia resin yang direkatkan dengan tekanan tinggi dan kemudian dikeringkan.  Prosesnya kurang lebih hampir sama dengan MDF hanya bahan MDF lebih halus dan seragam
particle-board-copy
sedangkan partikel board lebih kasar dan tidak beraturan.

     Harga particle board paling murah diantara kayu olahan lainnya. Musuh terbesarnya adalah air sehingga mempunyai keterbatasan dalam pemakaiannya di rumah tangga. Jika bahan ini basah maka kekuatannya akan hilang. Selain itu particle board juga dapat melengkung jika menahan beban berat.
    Dalam proses finishingnya particle tidak bisa di cat atau di coating karena teksturnya yang kasar. Sehingga untuk menutupi permukaannya dipakai lapisan veneer, laminate atau fancy paper laminate yang direkatkan. Berhati hati juga karena partikel board tidak bisa digabungkan memakai paku atau sekrup biasa. Biasanya pabrik menggunakan semacan perekat atau sekrup khusus untuk menginstal furniture berbahan particle board

Sabtu, 14 Desember 2013

Indonesia Art and Craft


Indonesia Art and Craft


One of the many pleasures of living in Indonesia is having the opportunity to learn about and collect Indonesian arts and handicrafts. The diversity evident in Indonesia's 300 plus ethnic groups is reflected in the diversity of its art forms. Just as every ethnic group throughout the archipelago has its own language/dialect, cuisine, traditional dress and traditional homes and they have also developed their own textiles, ornaments, carvings and items for daily use and special celebrations. The rich cultural heritage of art and handicrafts is one of Indonesia's true national riches.

Indonesian art forms can include designs traced back to early animistic beliefs, ancestor worship, Hindu or Buddhist influenced motifs brought by Indian traders, Chinese or Islamic symbols and beliefs. Foreign influence on Indonesian art forms was brought about by centuries of exposure to other cultures through trade. Immigrants from China, India, the Arab world and later Europe traveled to the archipelago in search of the unique spices grown in Indonesia. These traders settled and brought with them rich artistic traditions which influenced the development of local art.

Today we can see highly developed art forms wherever these artisans had patrons in centuries past. One of the places where this is perhaps most evident is in Yogyakarta where the Sultan's family has supported batik, silver, wayang and other artisans for generations. With this patronage the art forms flourished, resulting in a rich variety of art forms today.

The rich artistic traditions of Bali, where traditionally each person must develop skills in a particular art form - be it dance, music, or visual arts has lead to the creation of a vibrant artistic community. Foreign artists have been drawn to Bali for centuries due to this unique cultural synergy.

Handicrafts also developed from the usage of every day household items which were decorated and used for ceremonial purposes. Witness the wide variety of uses of natural woods, fibers, bamboo, rattan and grasses. Natural and chemical dyes, beads and other natural ornamentation are used to decorate these items, many of which have developed over time into distinctive art forms.

Many expats take advantage of the opportunity of living in Indonesia to learn more about its culture, or to begin acollection of art objects or handicrafts that they enjoy. We go through early days of explorations, through the thrills of discovery and learning, to hunting down particular items you want and acquiring true finds.

Often expats are able to acquire things in Indonesia that they wouldn't have been able to afford at home where import duties and retail mark-ups make the prices skyrocket. In addition, the purchase of various handicrafts is often associated with special memories ... wonderful memories of vacations, the tukang and the fun of searching for the right piece.

With the rupiah exchange rate so favorable against most foreign currencies - great bargains are to be found in Indonesia! Visit either Sarinah Jaya or Pasaraya in Jakarta for a good introduction to Indonesian handicrafts, though don't expect to find true antiques there. Then you'll know better what you may want to purchase on your travels through the archipelago.

If you develop a love for a particular item, seek out others who share your new hobby/collecting and learn the history of the items together. Expats who fall in love with a particular art form may even plan their travel through the archipelago around their special interest, tracking down and viewing the making of the items in their places of origin.

One of the most popular organizations in Jakarta for those who are interested in learning more about Indonesian culture is the Indonesian Heritage Society. Amateurs become experts through research using their extensive library and participation in study groups. Study groups are formed dependent on the interest of the members and in recent years have included: textiles, ceramics, wayang, batik and others.

Museums in Jakarta and in other major cities display priceless artifacts from Indonesia's vibrant history. Join a tour at the National Museum, visit the Textile or Keris museum and you will quickly discover the rich cultural heritage of Indonesian art. While at the Museum Nasional, pick up a copy of the National Museum Guidebook, published by the Indonesian Heritage Society for an excellent introduction to the collection.

Provincial Specialties

A few months after beginning your exploration of the various Indonesian art forms, certain provinces will soon take on character all their own through the art forms you association with them ... Javanese batik, Balinese carvings, Kalimantan baby bak, Malukan pearls, Bugis silk sarong, Lombok pottery, Dayak blow guns, Sumba ikat and more. Your travels throughout Indonesia will be enriched by your exposure to the development of different art forms in each province.

Symbolism

Indonesian art forms are rich in symbolism. The mythical naga or dragon; the mamuli pendant - symbol of fertility from Sumba, the tree of life, the mythological beast Garuda (also a national symbol found on the Panca Silasymbol), all have special meanings in Indonesian traditions, myths and beliefs. Exploring the origins of these designs and what they mean is fascinating.

The war between good and evil, ancient stories of love and warfare, nature and the heavens - all have special meanings to Indonesians throughout the archipelago. Gods, demons and knights abound in Balinese carvings and in other areas where Hindu influence predominated at some point in history. Plants, animals (mythological and real) and geometric forms are also widely used and represent specific meanings in particular art forms.

Motifs drawn from nature - leaves, flowers, mountains, water, clouds, animals often represent religious or mystical symbols related to early forms of animism, then later to Hinduism. Islamic prohibitions against showing the human figure or other living creatures stagnated the development of many art forms in areas where Islam was strong.

Certain motifs were favored and even restricted to the royal families, especially in batik designs for the Surakarta and Yogyakarta royal families (one of which is called the broken keris). These symbols depicted simple, natural objects that were important to the lives of Javanese, such as the leaves of the aren palm or the fruit from the kapok tree. Traditional colors of navy blue, cream, brown and black used in batik have given way to a myriad of colors utilizing modern imported dyes.

Handicrafts and art objects range from every day items which are unique to Indonesia, to one-of-a-kind collector's items, with a very wide range in between. What you will buy and/or collect depends of course on what you like. To introduce you briefly to the wide range of items available we've covered some of the more popular below:

Textiles

The diversity in Indonesian textile forms is astounding and is yet another representation of its rich cultural heritage. Indonesian textiles include hand drawn and stamped batik, the design of which takes months to create; double weave ikat from the islands of Nusa Tenggara, ship cloth from Lampung, silk Bugis sarong from Sulawesi, gold-painted Balinese prada fabric; shimmering kain songket from Palembang utilizing silver and gold metallic threads weft in woven cotton or silk ikat; and Tapis weavings from Lampung.

Weavings from the 27 provinces utilize different materials, methods, colors and designs. Primarily formed on back looms, weeks or months are spent creating intricate designs for everyday use or ceremonial wear. These weavings are primarily known by the different techniques that are used to create the distinctive designs.

The symbolism of the various ethnic groups is evident in the variety of textiles. Color, shapes and their arrangements all have special meanings. Certain designs can only be worn by women or men, or only by the members of the royal family or nobility.

Special textiles are worn or exchanged in life cycle or rights of passage ceremonies celebrating birth, circumcision, puberty, marriage, childbearing and death. Textiles play an important role in many traditional events and ceremonies.

Written records dating to the fourteenth century document the importance of textiles in the social and religious lives of Indonesians. The highly distinctive traditional dress, or pakaian adat, best shows the diversity of uses of textiles throughout the archipelago. The even more elaborate bridal dress displays the best of each province's textile and ornamental jewelry traditions.

Wayang -- Puppets

Puppets have been used for centuries in Indonesia to tell the stories of the ancient epics, the Ramayana and theMahabarata, as well as ancient myths. Modern stories also utilize this ancient art form for contemporary audiences.

Puppets fall into two major classifications - wayang kulit - the leather or shadow puppet of Central Java, and wayang golek - wooden puppets of West Java. There are several varieties of wooden puppets. Some expats enjoy collecting the same character by various artisans, or all the characters in a scene or story, or just characters that strike their fancy. Good guys, bad guys, gods, demons, nobles, giants, clowns, princes and princesses and monkeys ... all can be found in traditional puppet forms.

Less commonly seen are the Wayang Klitik, a flat wooden puppet. Links to sites with information on wayang


The congklak, or dakon board game was brought to Indonesia by Indian or Arab traders centuries ago. Madefrom plastic or wood, or highly carved by court artisans, this game has been played in Indonesia for centuries. Examples of early congklak board can be found in the National Museum.

Traditional toys can be found throughout the archipelago and forays into the provinces will undoubtedly turn up many simple toys made by villagers for their children. These can be purchased at local pasar, roadside stands or near popular tourist destinations.

Ceramics 
                                                                             
Ceramics made their way to Indonesia over centuries of trade with China dating back to 205 BC. Ceramic items range from everyday common vessels and plates, to fine ceramic pieces that became heirlooms passed down fromgeneration to generation.

Modern reproductions of these antiques abound ... so take the time to learn the difference between a genuine antique and a modern reproduction. The Ceramic Museum in Jakarta, ceramic study groups at the Indonesian Heritage Society and a wealth of books on Ceramics will help introduce you to this fascinating ancient art form.

More affordable, and yet just as beautiful is jewelry made from antique ceramic shards discovered in port cities throughout the archipelago. While formerly these broken dishes served as ballast in ships from China, modern artisans have turned these broken ceramic pieces into beautiful jewelry and other useful items.

Contemporary ceramic design can be found in a wide range of useful household items. Lombok pottery in particular is popular with expats. The intricate terra-cotta pottery made in the village of Kasongan near Yogyakarta is also a favorite of many.

Natural fibers and materials

A wide range of items, both useful and decorative are made from natural fibers such as pandanus, rattan, bamboo and grasses. Rice spoons, bowls, containers, woven mats, baskets, lamp shades, boxes, natural paper products and a multitude of other items are made from natural fibers in Indonesia.

Bamboo, while exotic in the west, is one of the most practical natural plants. The uses of bamboo in Indonesia arenumerous and Indonesians utilize bamboo extensively for a variety of items including baskets, winnows, cups, buckets, furniture and woven walls in traditional homes. The fine strands used for fans, purses, bags, hats, baskets and other items. Larger, thick strips are used for flower baskets, walls and other items. While bamboo was originally used for practical items around the house, these have been further developed into new items which sell well as souvenirs.

Bone, rubber, coconut shell, fibers, horn and other natural materials are used in many folk handicrafts from blow pipes, figurines, bags, storage items, painted umbrellas, and even ships made entirely from cloves.

Shells

Shells are used by Indonesian artisans to create a wide variety of useful items, wind chimes and jewelry. The waters surrounding the over 17,000 islands in the Indonesian archipelago have given forth an abundance of aquatic splendor. Exotic shells can be purchased for small sums of money. However, be cautious in your purchases as many species are over-harvested and their extinction is only a matter of time. In particular, avoid purchasing the Nautilus and giant clam, protected species which are already endangered.

Jewelry

One of the richest art forms in Indonesia reflects the Indonesian woman's desire to ornament her traditional dress, which wouldn't be complete without various items of traditional jewelry. Ornamentation used with traditional dress is rich in symbolism and design. From modern designs in 22 karat gold, to intricate filigree silver jewelry from Yogyakarta, using precious and semi-precious stones, or modern plastic, wood or ceramic ... there are many designs, materials and price ranges to choose from. Many expats indulge their love of a particular type of jewelry ... buying opals or silver jewelry until they've built up quite impressive collections.

Antique jewelry (both authentic and reproductions) is a favorite of expats. Antique trade beads, or their reproductions, are very popular.

Mabe pearls are a favorite with expats in Jakarta. You can purchase the loose pearls and have them set in your own gold or silver design at your favorite jewelers. Pearl farms harvest huge quantities of mabe and fresh water pearls in Lampung, Maluku and Sulawesi.

A trip to the gem markets of Jakarta or Kalimantan is a fun adventure and provides an introduction to the variety of gemstones available in Indonesia. These include diamonds, South Sea pearls, opal, sapphire, amethyst and banded agates. Beware that many stones are actually manufactured ... what is termed masakan in Indonesia. The karat content of gold can often misrepresented and gemstones could be fake. Depend on a trusted jeweler or shop with knowledgeable friends.

Antique Furniture

Beautiful Dutch colonial and other antique furniture from the 18th and 19th centuries is popular with expats, including Balinese opium beds, rice storage units, old cupboards, Javanese carved wall panels, doors and unique tables. These pieces may need restoration or may have already be refinished or reconditioned by the shops.

Many shops cater to the expats love of antiques and sell authentic antiques or reproductions. Widely available too are new designs of furniture, utilizing old wood. The advantage of old wood is that it is less likely to split when you bring it back to a dry climate, as the wood has been seasoned for decades. Much 'antique' furniture available is actually new furniture that has been left in the sun and rain for months to . age. the furniture. Be careful to purchase from a trustworthy dealer if you want to be sure you are getting authentic antiques.

Wood Carvings

Wooden carving traditions and skills can be found throughout the Indonesian archipelago, with the most famous being from Bali, Central Java, Madura, Sumatra and Papua. Different areas developed very different traditions so that many items are immediately identifiable as being created by particular ethnic groups. Most popular with expats are Javanese and Balinese wooden image carvings, Jepara lattice-like three-dimensional reliefs and Irianese primitive carvings.

Even amongst wooden carvings from a particular province, differences in design, style and subject matter are easily evidenced after some study. Irianese tribes such as the Asmat, Dani, and Komoro have very distinctive styles of carvings of totem poles, weapons, figures and utensils.

Whimsical, brightly colored modern carvings are produced primarily in Bali. And the popularity of these pieces has influenced the wooden carving traditions of other regions as well.

Used in prehistoric times in burials, the use of ancient spirit masks have given way to masks used in many traditional dances. These highly stylized masks, topeng, depict the various characters in the story told by the dance. Masks enable the performers to assume new identities and depict a variety of characters from demons to animals, princes or gods. Amongst the most famous masks used in dance are the Rangda and Barong masks from Bali. In this traditional dance, performed often for tourists, the interaction of Rangda, representing evil, and the Barong, representing good, restores the harmony between the good and evil in life.

While masks for sale in stores are primarily from Central Java and Bali, masks from other ethnic groups were used widely in the past to communicate with ancestors, for blessings for harvests, protection from evil spirits, to acquire new personalities or great powers.

Fragrant sandalwood from the Nusa Tenggara is available in carvings, medicine, incense, cosmetics, prayer beads and useful items such as pens and fans. It is usually stored in a special glass cabinet in stores and a stroll past the cabinet will quickly acquaint you with the exotic fragrance of this special wood.

Woods used in carving include ebony, teak, mahogany, ironwood, sandalwood and other lesser known indigenous woods. The price may often be related to the type of wood used, as harder woods are more difficult to carve. Since many are concerned by the cutting of tropical hard wood forests, many wood items are made from teak trees which are cultivated on plantations. Look for the labeling designated the item as utilizing plantation-grown teak.

Stone Carvings

Volcanic rock are carved to create statues depicting characters from ancient Indonesian myths and epics. These are predominantly found in Yogyakarta and Bali where stone carving traditions date back over 900 years and were highly developed during the construction of major temples in these areas.

Bangka Tin

Pewter items are made with tin from the island of Bangka. Favorites with expats are the angels in varying sizes, candlesticks, picture frames, and Christmas tree ornaments. Engravings of Bangka tin items are often presented by various expat groups to their members in recognition of various achievements.

Shops specializing in Bangka pewter items can be found in Jakarta on Jl. Paletahan. These shops offer significant discounts. Displays of Bangka tin items can also be found in the major arts and handicrafts centers in Jakarta and in other popular tourist destinations.

Paintings

Painting as an art form was really developed in the 19th and 20th century and includes batik paintings, the highly stylized paintings of Bali which depict village and traditional life as well as modern oils and acrylics. Famous Indonesian painters such as Raden Saleh, command high prices on the international market and at auctions in Singapore and Jakarta.

Musical Instruments

Along with the other arts forms that developed in great diversity across the archipelago, cultural diversity also lead to the development of different musical traditions, thus different instruments. Angklung from West Java, Gamelan from Yogyakarta or Bali, flutes and gongs from West Java are favorite collectibles of expats. 

Calligraphy

While non-Islamic art forms abound due to the rich Buddhist/Hindu traditions dating back for centuries, Islamic calligraphy has developed in various art forms as well. These include embroidery, wood carvings, ceramics, paintings, and the beautiful gold embroidered Tapis cloth of Lampung.

Weapons

The ancient Keris is a favorite of expats, as well as bone blow pipes from Kalimantan, swords and daggers. Bowsand arrows and spears from Papua are also popular.

Batik copper stamps

Used in the cap production of batik, these copper stamps are collected by expats. Special designs can be made at the Cap Man in Jakarta where cap are worked into drawers and furniture as well as lazy susans, coasters or trivets.


Whatever your tastes and pleasures, you will soon enjoy the exploration of the various Indonesian art forms and enjoy collecting a few for yourself.