Kayu Jati Dalam Balutan Sejarah Berdirinya Kerajaan Tanah Jawa
Sejarah
Kasunanan Surakarta Tahun 1745-1945, Pembentukan Daerah Istimewa Surakarta
Tanggal 1 September 1945 dan Berakirnya DIS Akibat Gerakan Anti Monarki Oleh
Tan Malaka Oktober 1945
Kesultanan Mataram yg runtuh akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Sunan
Amral dipindahkan di Kartasura. Pada masa Sunan Pakubuwana II memegang tampuk
pemerintahan keraton Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang
Tionghoa yg mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742.
Kerajaan Mataram yg berpusat di Kartasura itu mengalami keruntuhannya. Kota
Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV
penguasa Madura barat yg merupaken sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak
parah.
Pakubuwana II yg menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan
untuk membangun istana baru di desa Sala sebagai ibukota kerajaan Mataram yg
baru. Bangunan Keraton Kartasura yg sudah hancur & dianggap
“tercemar”. Sunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Honggowongso [bernama
kecil Joko Sangrib atau Kentol Surawijaya, kelak diberi gelar Tumenggung
Arungbinang I], bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda,
J. A. B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yg baru.
Untuk itu dibangunlah
keraton baru 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, pada 1745, tepatnya di Desa
Sala di tepi Bengawan Solo. Nama “Surakarta” diberikan sebagai nama “wisuda”
bagi pusat pemerintahan baru ini. Pembangunan keraton ini menurut
catatan[siapa?] menggunakan bahan kayu jati dari kawasan Alas Kethu, hutan di
dekat Wonogiri & kayunya dihanyutkan melalui Bengawan Solo. Secara resmi,
keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745 [atau Rabu Pahing 14 Sura 1670
Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya]. Berlakunya Perjanjian Giyanti
[13 Februari 1755] menyebabkan Surakarta menjadi pusat pemerintahan Kasunanan
Surakarta, dengan rajanya Pakubuwana III. Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta, dengan rajanya Sultan Hamengkubuwana I.
Keraton & kota Yogyakarta
mulai dibangun pada 1755, dengan pola tata kota yg sama dengan Surakarta yg
lebih dulu dibangun. Perjanjian Salatiga 1757 memperkecil wilayah Kasunanan,
dengan diberikannya wilayah sebelah utara keraton kepada pihak Pangeran
Sambernyawa [Mangkunagara I].
Pembetukan Kasunanan
Surakarta Hadiningrat
Kasunanan Surakarta Hadiningrat ialah sebuah kerajaan di Jawa Tengah yg berdiri tahun 1755
sebagai hasil dari perjanjian Giyanti 13 Februari 1755. Perjanjian antara VOC
dengan pihak-pihak yg bersengketa di Kesultanan Mataram, yaitu Sunan Pakubuwana
III & Pangeran Mangkubumi, menyepakati bahwa Kesultanan Mataram dibagi dlm
dua wilayah kekuasaan yaitu Surakarta & Yogyakarta.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.
Kasunanan Surakarta umumnya tak dianggap sebagai pengganti Kesultanan Mataram, melainkan sebuah kerajaan tersendiri, walaupun rajanya masih keturunan raja Mataram.
Setiap raja Kasunanan
Surakarta yg bergelar Sunan [demikian pula raja Kasultanan Yogyakarta yg
bergelar Sultan] selalu menanda-tangani kontrak politik dengan VOC atau
Pemerintah Hindia Belanda.
Kejayaan Kesunanan
Surakarta
Kerajaan Mataram yg
berpusat di Surakarta sebagai ibukota pemerintahan kemudian dihadapkan pada
pemberontakan yg besar karena Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II tahun 1746
yg meninggalkan keraton menggabungkan diri dengan Raden Mas Said. Di tengah
ramainya peperangan, Pakubuwana II meninggal karena sakit tahun 1749. Namun, ia
sempat menyerahkan kedaulatan negerinya kepada VOC, yg diwakili oleh Baron von
Hohendorff. Sejak saat itu, VOC lah yg dianggap berhak melantik raja-raja
keturunan Mataram. Pada tanggal 13 Februari 1755 pihak VOC yg sudah mengalami
kebangkrutan berhasil mengajak Pangeran Mangkubumi berdamai untuk bersatu
melawan pemberontakan Raden Mas Said yg tak mau berdamai. Semula Pangeran
Mangkubumi bersekutu dengan Raden Mas Said. Perjanjian Giyanti yg
ditanda-tangani oleh Pakubuwana III, Belanda, & Mangkubumi, melahirkan dua
kerajaan baru yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat & Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pangeran Mangkubumi sebagai raja di separuh wilayah Mataram
mengambil gelar Sultan
Hamengkubuwana, sedangkan raja Kasunanan Surakarta mengambil gelar Sunan
Pakubuwana. Seiring dengan berjalannya waktu, negeri Mataram yg dipimpin oleh
Hamengkubuwana kemudian lebih terkenal dengan nama Kasultanan Yogyakarta,
sedang negeri Mataram yg dipimpin oleh Pakubuwana terkenal dengan nama
Kasunanan Surakarta. Selanjutnya wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang,
karena Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757 menyebabkan Raden Mas
Said diakui sebagai seorang pangeran merdeka dengan wilayah kekuasaan berstatus
kadipaten, yg disebut dengan nama Praja Mangkunegaran. Sebagai
penguasa, Raden Mas Said bergelar Adipati Mangkunegara.
Wilayah Surakarta
berkurang lebih jauh lagi sesudah usainya Perang Diponegoro pada tahun 1830, di
mana daerah-daerah mancanegara diberikan kepada Belanda sebagai ganti rugi atas
biaya peperangan.
Berbeda dengan Pakubuwana III yg agak patuh kepada VOC, penerus
tahta Kasunanan Surakarta berikutnya, yakni Sri Susuhunan Pakubuwana IV [1788-1820]
ialah sosok raja yg membenci penjajah & penuh cita-cita serta keberanian.
Pada November 1790, terjadi Peristiwa Pakepung, yakni insiden pengepungan Keraton Surakarta oleh
persekutuan VOC, Hamengkubuwana I, & Mangkunegara I. Pengepungan ini
terjadi karena Pakubuwana IV yg berpaham kejawen menyingkirkan para pejabat istana yg tak sepaham
dengannya. Para pejabat istana yg disingkirkan kemudian meminta VOC untuk
menghadapi Pakubuwono IV. VOC yg memang khawatir atas aktivitas kejawen
Pakubuwana IV akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I & Mangkunegara I
untuk mengepung istana.
Di dlm istana, para
pejabat yg sebenarnya tak sependapat dengan Pakubuwana IV juga ikut menekan
dengan maksud agar para penasehat rohani kerajaan yg beraliran kejawen bisa
disingkirkan. Pada 26 November 1790, Pakubuwana IV akhirnya takluk &
menyerahkan para penasehatnya untuk diasingkan oleh VOC. Pada era pemerintahan
Pakubuwana IV terjadi perundingan bersama yg isinya menerangkan bahwa Kasunanan
Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, serta Praja Mangkunegaran memiliki kedudukan
& kedaulatan yg setara sehingga tak boleh saling menyerang. Pengganti
Pakubuwana IV ialah Sri Susuhunan Pakubuwana V, yg oleh masyarakat saat itu
dijuluki sebagai Sunan Ngabehi, karena baginda yg sangat kaya, baik kaya harta
maupun kesaktian. Setelah wafat, pengganti Pakubuwana V ialah Sri Susuhunan
Pakubuwana VI.
Pakubuwana VI ialah
pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yg memberontak terhadap Kesultanan
Yogyakarta & pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Penulis
naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI
dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI
dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana.
Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda.
Di samping memberikan bantuan & dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk
pura-pura membantu Belanda.
Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa
muda dirinya pernah ikut serta dlm pasukan sandiwara tersebut. Setelah
menangkap Pangeran Diponegoro, Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI &
membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara
sudah membocorkan semuanya, & kini ia hidup nyaman di Batavia. Fitnah yg
dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra
Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu
Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri
masih berada dlm kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta
Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yg bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwana VII. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa
pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja
sebelumya. Keadaan yg damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara
besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap
sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar
Ranggawarsita sebagai pelopornya.
Pemerintahannya berakhir saat wafatannya & karena tak
memiliki putra mahkota maka Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya [lain ibu]
bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana VIII yg naik tahta pada usia 69 tahun.
Pemerintahan Pakubuwana VIII berjalan selama tiga tahun sampai akhir hayatnya.
Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta
selanjutnya, yg bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana IX. Hubungan antara
Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak
Belanda bahwa Mas Pajangswara [ayah Ranggawarsita yg menjabat sebagai juru
tulis keraton] telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI
dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal
ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis
tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dlm penjara oleh Belanda.
Ranggawarsita sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui
persembahan naskah Serat Cemporet.
Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada
tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta
selanjutnya, bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana X. Masa pemerintahannya ditandai
dengan kemegahan tradisi & suasana politik kerajaan yg stabil. Pada masa
pemerintahannya yg cukup panjang, Kasunanan Surakarta mengalami transisi, dari
kerajaan tradisional menuju era modern, sejalan dengan perubahan politik di
Hindia Belanda. Meskipun berada dlm tekanan politik pemerintah kolonial Hindia
Belanda, Pakubuwana X memberikan kebebasan berorganisasi & penerbitan media
massa. Ia mendukung pendirian organisasi
Sarekat Islam, salah satu organisasi pergerakan nasional pertama di
Indonesia. Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta [1938] diadakan pada masa
pemerintahannya. Infrastruktur moderen kota Surakarta banyak dibangun pada masa
pemerintahannya, seperti bangunan Pasar Gede, Stasiun Solo Jebres, Stasiun
Solo-Kota [Sangkrah], Stadion Sriwedari, kebun binatang [”Taman Satwataru”]
Jurug, Jembatan Jurug yg melintasi Bengawan Solo di timur kota, Taman
Balekambang, gapura-gapura di batas Kota Surakarta, rumah pemotongan hewan
ternak di Jagalan, rumah singgah bagi tunawisma, & rumah perabuan
[pembakaran jenazah] bagi warga Tionghoa. Beliau meninggal dunia pada tanggal 1
Februari 1939.
Ia disebut sebagai
Sunan Panutup atau raja besar Surakarta yg terakhir oleh rakyatnya.
Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yg bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwana XI. Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu
bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian
pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak
Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo. Ia digantikan Sri Susuhunan
Pakubuwana XII.
Status Kasunanan
Surakarta Masa Kemerdekaan
Di awal masa
kemerdekaan Republik Indonesia [1945-1946], Kasunanan Surakarta & Praja
Mangkunegaran sempat menjadi Daerah Istimewa. Akan tetapi karena kerusuhan
& agitasi politik saat itu maka pada tanggal 16 Juni 1946 oleh Pemerintah
Indonesia statusnya diubah menjadi Karesidenan, menyatu dlm wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia. SISKS Pakubuwana X, raja terbesar Kasunanan
Surakarta, bersama permaisuri Ratu Hemas & putri, GKR Pembajoen.
Baliho Piagam Maklumat
Keistimewaan Negeri Surakarta oleh SISKS Pakubuwana XII, di Siti Hinggil Lor,
Keraton Surakarta.
Penetapan status
Istimewa ini dilakukan Presiden RI Soekarno sebagai balas jasa atas pengakuan
raja-raja Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunagaran yg menyatakan wilayah
mereka ialah bagian dari Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945.
Selanjutnya pada tanggal 19 Agustus 1945 di dlm rapat PPKI
diputuskan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi atas sembilan
propinsi & dua daerah istimewa, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sunda Kecil, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Daerah Istimewa Surakarta,
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian pada tanggal
1 September 1945, Kasunanan Surakarta & Praja Mangkunegaran mengirimkan
maklumat kepada Presiden Soekarno perihal pernyataan dari Susuhunan Pakubuwana
XII & KGPAA Mangkunegara VIII yg menyatakan bahwasanya Negeri Surakarta
Hadiningrat yg bersifat kerajaan ialah Daerah Istimewa dari Negara Republik
Indonesia, dimana hubungan antara Negeri Surakarta dengan Pemerintah Pusat
Negara Republik Indonesia bersifat langsung.
Atas dasar semua itulah, maka Presiden Soekarno memberikan
pengakuan resmi kepada Susuhunan Pakubuwana XII & KGPAA Mangkunegara VIII
dengan diberikannya piagam kedudukan resmi sebagai Kepala Daerah Istimewa
Surakarta yg setingkat jabatan Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah
Pemerintah Pusat. Sebagaimana diketahui, barulah sekitar lima hari setelahnya,
yaitu pada tanggal 5 September 1945, Kesultanan Yogyakarta & Kadipaten
Pakualaman mengeluarkan maklumat serupa, yg menjadi dasar dari pembentukan dari Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gerakan Anti Monarki
Oleh Tan Malaka Oktober 1945
Kemudian, pada Oktober 1945, muncul gerakan Anti swapraja/anti
monarki/anti feodal di Surakarta, di mana salah seorang pimpinannya ialah Tan
Malaka, pimpinan Partai Murba. Tujuan gerakan ini ialah penghapusan DIS,
serta pembubaran Mangkunegara & Susuhunan. Motif lain dari gerakan ini
ialah perampasan tanah-tanah pertanian yg dikuasai Mangkunegara & Susuhunan
untuk dibagi-bagikan sesuai dengan kegiatan landreform oleh golongan sosialis.
Tanggal 17 Oktober
1945, Pepatih Dalem [perdana menteri] Kasunanan KRMH Sosrodiningrat diculik
& dibunuh oleh gerombolan Anti swapraja. Aksi ini diikuti pencopotan
Bupati-bupati yg umumnya kerabat raja & diganti orang-orang yg pro gerakan
Anti swapraja. Maret 1946, Pepatih Dalem yg baru KRMT Yudonagoro juga diculik
& dibunuh. April 1946, 9 pejabat Kepatihan mengalami hal yg sama.
Pemerintah RI membekukan
status Daerah Istimewa Surakarta
Karena banyaknya
kerusuhan, penculikan & pembunuhan, maka untuk sementara waktu Pemerintah
RI membekukan status DIS & menurunkan kekuasaan raja-raja Kasunanan &
Mangkunegaran & daerah Surakarta yg bersifat istimewa sebagai karesidenan
sebelum bentuk & susunannya ditetapkan undang-undang. Status Susuhunan
Surakarta & Adipati Mangkunegara hanya sebagai simbol saja di masyarakat
& warga negara Republik Indonesia, serta Keraton diubah menjadi pusat
pengembangan seni & budaya Jawa.
Pemerintahan Pakubuwana
XII
Awal pemerintahan
Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Belanda yg
tak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan
kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke
Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda. Barisan Banteng berhasil
menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tak menumpasnya karena
pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak
pemerintah sehingga mencabut status Daerah Istimewa Surakarta.
Pada awal
pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting &
memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia. Bahkan, sampai muncul rumor
bahwa para bangsawan Surakarta sejak dahulu merupaken sekutu pemerintah
Belanda, sehingga rakyat merasa marah & memberontak terhadap kekuasaan
Kasunanan, padahal fitnah itu amat sangat tak benar & keliru. Karena
seperti diketahui, para raja-raja Kasunanan terdahulu merupaken salah satu
penentang pemerintah penjajah yg paling utama.
Meskipun gagal secara
politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa.
Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya
sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa. Pakubuwana XII wafat pada tanggal 11
Juni 2004, & masa pemerintahannya merupaken yg terlama diantara para
raja-raja Kasunanan terdahulu, yaitu sejak tahun 1945-2004. Sepeninggalnya
terjadi perebutan tahta antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yg
masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
Saat ini, konflik dua Raja Kembar telah usai sesudah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta
Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dlm sebuah rekonsiliasi
resmi yg di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, &
Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih [pepatih dalem] dengan gelar
KGPHPA [Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung].



Tidak ada komentar:
Posting Komentar